Lagi. Banjir bandang melumpuh dan meluluh lantakkan pemukiman warga di tanah air. Kala itu, 2 September 2016, hujan deras tanpa henti berakibat meluapnya Sungai Cimanuk yang menyapu daerah sekitarnya di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Banjir yang tercatat sebagai yang terbesar di Kabupaten Garut ini telah membawa kerugian besar bagi warga yang secara instan harus kehilangan aset dan harta bendanya. Belum lagi mereka yang harus menginap di tenda-tenda darurat, atau pun sakit, meninggal, dsb. Akan tetapi, bencana seperti banjir tersebut rupanya memiliki korelasi sebab-akibat yang kuat dengan aktivitas warga yang mengeksploitasi alam sekitarnya guna memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Sebuah media elektronik nasional menyebutkan bahwa sejumlah kecamatan di Kabupaten Garut telah mengalami alih fungsi lahan yang signifikan dalam kurun waktu yang singkat. Hampir seluruh kawasan hulu anak Sungai Cimanuk rupanya telah mengalami alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Misalnya, kawasan di sekitar mata air Cikamiri, yang seyogyanya diperuntukkan untuk pepohonan dengan akar yang kuat, kini telah dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman sayur dalam skala yang sangat luas.
Isu alih fungsi lahan di kawasan hutan di Kabupaten Garut ini dibenarkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangelie. Menurut Willem, penyalahgunaan dan pemanfaatan lahan menyebabkan adanya erosi di hulu anak sungai. Erosi ini kemudian membuat Sungai Cimanuk mendangkal akibat sedimentasi dari massa tanah yang tergerus dari kawasan sekitarnya terutama di kawasan bantaran sungai Akibatnya, Sungai Cimanuk tak lagi mampu menampung air lebih ketika terjadi hujan deras. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk sendiri sekarang sudah dikategorikan sebagai DAS dengan kondisi kritis. Maksudnya, DAS Cimanuk telah mengalami pendangkalan yang signifikan sehingga peruntukkan dan pemanfaatan kawasannya menjadi prioritas untuk dievaluasi.
Alih fungsi lahan DAS Cimanuk oleh warga menjadi salah satu faktor berubahnya tutupan lahan sebagaimana dikemukakan oleh Turner, dkk (1995). Terdapat dua kelompok besar faktor pendorong berubahnya tutupan lahan, yaitu faktor biofisik dan faktor sosial ekonomi. Faktor biofisik ialah yang berkaitan dengan karakteristik wilayah, seperti bentuk topografi. Sedangkan faktor sosial ekonomi merupakan faktor yang berkenaan dengan aktivitas manusia.

Apabila kita melihat bentuk topografinya, Kabupaten Garut berada pada dataran tinggi yang pada awalnya masih dipenuhi tutupan lahan hijau. Secara teori alam, bentuk topografi seperti Kabupaten Garut seharusnya bisa terhindar dari bencana banjir. Namun alih fungsi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia terjadi dalam wilayah dengan cakupan yang cukup masif. Salah satu pendorong terjadinya perubahan tutupan lahan sebagian besar disebabkan oleh adanya aktivitas manusia dalam menggunakan lahan, antara lain untuk keperluan permukiman dan penyediaan lahan produksi (Lambin, 2004; USGCCRP, 2009).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Virtriana, 2016 , hasil analisis statistik spasial menunjukkan bahwa kepadatan penduduk sangat berpengaruh mendorong perubahan lahan pada kelas vegetasi yaitu hutan, ladang/tegalan, perkebunan, dan sawah di Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan. Desakan penduduk meningkatkan peluang perubahan kelas vegetasi tersebut menjadi kelas tutupan non vegetasi atau kawasan terbangun. Hal tersebut karena peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan akan permukiman. Sementara, kelas vegetasi semak belukar dan kawasan terbangun tidak akan terlalu terganggu karena mampu menjaga dirinya dari “gangguan” tekanan penduduk.
Fakta di atas dikuatkan dengan nilai rasio perubahan pada variabel kepadatan penduduk untuk kelas lahan hutan adalah 9,85 yang berarti bahwa peluang hutan untuk berubah menjadi kelas lahan lain akan meningkat 9,85 kali apabila jumlah penduduk naik 1 orang, sementara variabel lainnya konstan. Untuk kelas hutan, ladang/tegalan, dan sawah, kepadatan penduduk memiliki nilai rasio perubahan terbesar dibandingkan dengan nilai rasio perubahan variabel prediktor lainnya. Maka jelas bahwa penduduk merupakan faktor dominan yang menyebabkan berubahnya kelas lahan hutan, ladang/tegalan, dan sawah menjadi kelas lainnya.
Dari perspektif teologi, sebenarnya fenomena kerusakan alam yang terjadi akibat dari aktifitas manusia yang tidak terkendali telah dijelaskan dalam Al Quran. Dalam QS Ar Rum ayat 41, Allah SWT berfirman :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ayat lainnya yang menjelaskan menganai kerusakan alam yaitu QS Al Baqarah, ayat 11-12. Allah SWT berfirman :
“Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan. Penjelasan berikutnya mengenai ayat di atas adalah melakukan maksiat di muka bumi merupakan bentuk perusakan lantaran perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, sehingga terjangkiti penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat.
Jadi bagaimana seharusnya umat muslim mengambil hikmah dari bencana yang terkait dengan aktifitas manusia? Tujuan Allah SWT menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka agar bisa menopang mereka dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh (maksiat) berarti mereka telah berusaha merusak dan menghancurkan tujuan utama penciptaan bumi”. Tidak akan hilang bencana di muka bumi, kecuali dengan taubat yang sungguh-sungguh.
Dari sisi sains , terkait dengan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan, maka strategi yang dapat diterapkan yaitu mengurangi laju pertumbuhan penduduk khususnya pada kelas lahan yang memiliki nilai rasio perubahan variabel kepadatan penduduk yang tinggi. Tidak menambah pusat CBD baru di Jawa Barat dapat menjadi pertimbangan selanjutnya terkait pengendalian perubahan tutupan lahan, yang bisa berdampak pada berkurangnya tekanan penduduk.
Oleh: Riantini Virtriana
Penulis adalah alumni Program Doktor Geodesi dan Geomatika ITB yang sekarang berprofesi sebagai dosen Teknik Geodesi ITB